Senin, 08 Juni 2015

PENERAPAN SOSIOLINGUISTIK DALAM PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA



A.    Sekilas Mengenai Sosiolinguistik
Istilah sosiolinguistik sebagai istilah yang dipergunakan oleh H. Curee dalam sebuah karangan yang dimuat dalam A. Various Language. J.A.Fishman sendiri membedakan istilah sosiolnguistik dan sosiologi bahasa. Sosiolinguistik menurut fishman lebih bersifat kualitatif, sedangkan sosiologi bahasa bersifat kuantitatif. Artinya kalau sosiolinguistik mementingkn pemakaian bahasa oleh individu-individu dalam konteks sosialnya, maka sosiologi bahsa mementingkan keragaman bahasa sebagai akibat pelapisan social yang terdapat dalam masyarakat.(Dr.Mansoer Pateda, 1987:2)
Sosiolinguistik merupakan pondasi linguistik pendidikan yang terdiri atas variasi bahasa, interaksi dengan menggunakan berbagai bahasa, adanya gender, etnisitas, dan jaringan sosial sebagai dasar penggunaan bahasa yang beragam, masyarakat multilingual dan munculnya kontak bahasa (Spolsky, 2008:66-76). Selain itu sosiolinguistik menelaah bahasa yang dipengaruhi oleh masyarakat. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Spolsky (1998: 1) yang menyebutkan bahwa sosiolinguistik adalah bidang yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat sosial, antara penggunaan bahasa dan struktur sosial di mana pengguna bahasa hidup. Dittmar (1976: 128; Chaer dan Agustina, 2010: 5) mengemukakan  tujuh dimensi sosiolinguistik yang telah dirumuskan pada tahun 1964, di University of California, Los Angeles sebagai masalah yang dibicarakan dalam sosiolinguistik.

B.     Variasi bahasa, interferensi dan etnografi komunikasi
Chaer (2003: 53) mengemukakan bahwa bahasa merupakan satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Manusia sebagai pengguna bahasa tersebut bukanlah manusia yang homogen melainkan sekolompok individu yang heterogen. Berdasarkan alasan tersebut bahasa muncul dengan berbagai variasi seperti variasi bahasa berdasarkan pengguna dan penggunaanya. Pada pembahasan ini akan diulas mengenai variasi bahasa. Chaer dan agustina (2010: 66) mengemukakan sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas para penuturnya, muncullah bahasa yang disebut akrolek, basilek, mesolek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, ken dan prokem.
Interferensi adalah penyimpangan norma bahasa masing-masing yang terjadi di dalam tuturan dwibahasawan (bilingualisme) sebagai akibat dari pengenalan lebih dari satu bahasa dan kontak bahasa itu sendiri. Interferensi meliputi interferensi fonologi, morfologi, leksikal, dan sintaksis. Contoh interferensi fonologi pada kata Bantul èmBantul. Interferensi morfologi pada kata terpukulèkepukul. Hal ini terinterferensi bahasa Indonesia oleh bahasa Jawa. Interferensi sintaksis pada kalimat di sini toko laris yang mahal sendirtoko laris adalah toko yang paling mahal di sini. Interferensi leksikon pada kata kamanahèkemana (bahasa Indonesia terinterferensi bahasa Sunda). Di samping itu, Alwasilah(1985 :132) mengatakan interferensi berarti adanya saling pengaruh bahasa. Pengaruh itu dalam bentuk yang paling sederhana berupa pengambilan satu unsur dari satu bahasa dan digunakan dalam hubungannya dengan bahasa lain.
 Etnografi komunikasi merupakan kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik ,misalnya tentang adat istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian yang sangat dekat dengan etnografi adalah etnologi, kajian bandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok.(sumarsono, 2011: 309)
Menurut Hymes (1974), istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajiannya, yaitu etnografis landasannya, dan komunikatif rentangannya dan jenis kerumitannya yang terkait.
Etnografi komunikasi pertama kali dikemukakan oleh Dell Hymes (Murrel, 2003: 3) bahwa studi bahasa harus memperhatikan aturan sosial, budaya, norma dan nilai-nilai yang mengatur perilaku dan interpretasi proses ujaran dan sarana komunikasi lainnya dalam teorinya selama ini ini ahli bahasa bahasa hanya mengkaji struktur saja sedangkan antropolgi hanya melihat bahasa untuk melihat aspek budaya lainnya. Hymes mengemukkan komponen yang menjembatani keduanya melalui teorinya yang dikenal dengan SPEAKING.
1.      S: (situation), terdiri atas setting dan scene. setting menunjuk pada waktu, tempat dan keadaan fisik tuturan secara keseluruan,  Scene mengacu pada keadaan psikologis pembicaraan. Misalnya dari situasi formal berubah menjadi informal.
2.      P: (partisipants), mencakup penutur, petutur, pengirim dan penerima.
3.      E: (ends), meliputi maksud atau tujuan dan hasil.
4.      A: (act sequence), terdiri atas bentuk pesan dan isi pesan
5.      K: (key), mengacu pada nada, cara, atau semangat penyampaian pesan
6.      I: (instrumentalities), menunjuk pada jalur bahasa yang digunakan dalam pembicaraan seperti lisan, tulisan, melalui telegraf atau telepon dan bentuk tuturan seperti bahasa dan dialek, kode, fragam atau register seperti di Amerika dengan menggunakan dialek bahasa Inggris untuk mengarah pada situasi atau fungsi tertentu (seperti bahasa standar vs vernakular).
7.      N: (norms), mengacu pada aturan-aturan atau norma interaksi dan interpretasi. Norma interaksi merupakan norma yang terjadi dalam cara menyampaikan pertanyaan, interupsi, pernyatan, perintah dalam percakapan. Norma interpretasi, yakni penafsiran norma oleh partisipan dalam tuturan.
8.      G: (genres), mencakup jenis bentuk penyampaian, seperti syair, sajak, mite, hikayat, doa, bahasa perkuliahan, perdagangan, ceramah, surat edaran, tajuk rencana.

C.    Pengajaran bahasa dan sastra
Pengajaran merupakan interaksi belajar dan mengajar. Pengajaran berlangsung sebagai suatu proses saling mempengaruhi antara pengajar dan siswa. Diantara keduanya terdapat hubungan atau komunikasi interaksi. Pengajaran merupakan suatu pola yang di dalamnya tersusun suatu prosedur yang direncanakan (Ampera, 2010:6).
Brown (2007:8-9)  menyatakan bahwa pengajaran adalah memandu dan memfasilitasi pembelajaran, memungkinkan pembelajar untuk belajar, menetapkan kondisi-kondisi pembelajaran yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip, pemilihan metode dan teknik yang sesuai dengan kegiatan yang akan dilaksanakan.
1.         Pengajaran bahasa
Pengajaran bahasa pada suatu negara atau suatu daerah merupakan suatu keputusan politik, ekonomi dan sosial yang disebut kebijakan pengajaran bahasa. Apabila secara politis telah ditentukan, bahasa apa yang harus diajarkan, dan kepada siapa bahasa itu harus diajarkan, maka langkah selanjutnya adalah bahan apa yang harus diajarkan dan bagaimana cara mengajarkannya.

2.         Pengajaran sastra
Pengajaran sastra pada dasarnya memiliki peranan dalam peningkatan pemahaman siswa. Apabila karya-karya sastra tidak memiliki manfaat, dalam menafsirkan masalah-masalah dalam dunia nyata, maka karya sastra tidak akan bernilai bagi pembacanya. Pada dasarnya pengajaran sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka dapat dipandang pengajaran sastra menduduki tempat yang yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan secara tepat maka pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang  besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam  masyarakat (Rahmanto, 1996:15). Melalui hal tersebut, sastra memberikan pengaruh terhadap pembacanya. Sastra membentuk pola pikiran dan respon pembaca terhadap apa yang dibacanya dengaan aktivitas kesehariaanya yang saling berkaitan.
Pengajaran bahasa dan sastra pada umumnya mengalami kendala dan hambatan. Khususnya pada pengajaran sastra yang terkadang dianggap kurang bermanfaat. Sikap yang kurang apresiatif muncul dari siswa dan guru, sehingga pengajaran sastra terabaikan. Kemendiknas (2011:59) menyatakan penyajian pengajaran sastra hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulm, kering, kurang hidup, dan cenderung kurang mendapat tempat dihati siswa. Pengajaran sastra diberbagai jenjang pendidikan selama ini dianggap kurang penting dan dianaktirikan oleh para guru, apalagi para guru yang pengetahuan dan apresiasi (dan budayanya) rendah. Hakikat dari tujuan pengajaran sastra yaitu untuk menumbuhkan keterampilan, rasa cinta dan penghargaan para siswa terhadap bahasa dan sastra Indonesia sebagai budaya warisan leluhur. Pada pengajarannya pula sastra memiliki problematika yang mempengaruhi minat dan keinginan siswa untuk mengikuti pengajaran dengan baik.


A.          PENERAPAN SOSIOLINGUISTIK DALAM PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Penerapan sosiolinguistik yang tak boleh diabaikan adalah aplikasinya dalam pendidikan. Bagaimana interaksi kebahasaan dalam proses belajar mengajar sangat penting diketahui. Persoalannya ialah apakah pengajaran bahsa dapat menyebabkan anak didik menggunakan suatu bahasa menurut kaidah-kaidah dan tidak mempersoalkan bagaimana penerapan kaidah dalam penggunaan bahasa sehari-hari.
Penerapan sosilinguistik dalam pengajaran bahasa bukan berarti kita mengajarkan sosiolinguistik kepada murid-murid, tetapi kita (guru bahasa) harus membentengi diri dengan pengetahuan sosiolinguistik. Pengetahuan sosiolinguistik diperlukan agar materi yang kita berikan kepada anak didik dapat mereka cerna dan dapat dipergunakannya dalam kehidupan sehari-hari.(mansoer pateda, 1987:98)
Dalam sosiolinguistik mengajarkan bagaimana penggunaan bahasa itu secara aktual dalam komunikasi khususnya dalam pengajaran bahasa. Seperti yang diungkapkan oleh Fishman (1967: 15; Chaer dan Agustina, 2010:48) bahwa sosiolinguistik menjelaskan bagaimana menggunakan bahasa dalam aspek atau segi sosial tertentu dengan memperhatikan, “ who speak, what language, to whom, when, and to what end”.
Parera (1989:11-13) menyatakan bahwa terdapat tiga tahap aplikasi linguistik berkaitan kontribusi linguistik dalam pengajaran bahasa sebagai berikut.
Tahap aplikasi pertama adalah tahap deskripsi linguistik. Tahapan ini memberi jawaban atas pertanyaan general tentang hakekat bahasa yang diajarkan. Secara tidak langsung bagan-bagan yang dijelaskan memberikan isyarat bahwa teori struktural dan sosiolinguisrik merupakan bagian dari lingusitik yang menyumbangakan teorinya dalam penyusunan bahan pengajaran bahasa.
Tahap aplikasi kedua berhubungan dengan isi silabus. Kita tidak akan mengajarkan keseluruhan bahasa dalam pembelajaran, namun mengajarkan bahasa yang dibutuhkan oleh peserta didik kita. Dalam tahapan ini kita akan melakukan desain hasil untuk itu akan dilakukan pemilihan bahan. Pemilihan bahan sangat erat sekali dengan aplikasi sosiolinguistik terutama jika bahan pembelajaran ingin menyiapkan bagi pembelajar bahasa Indonesia untuk pengguna bahasa asing, seluk-beluk variasi dialek, perbandingan interlingual dan perbandingan antara dua bahasa.
Tahap aplikasi ketiga merupakan tahap kegiatan pembelajaran bahasa karena pada tahap kedua belum bisa membuat silabus yang lengkap dan utuh tentang bahasa, maka kaidah-kaidah penyusunan silabus ini harus memperhatikan faktor linguistik, psikolinguistik maupun sosiolinguistik sebagai bahan pengajaran (materi yang dimasukkan silabus) yang nanti juga menentukan alat, bahan dan sumber pembelajaran dan pendekatan proses (teknik presentasi) seperti pendekatan kontekstual, metode jigsaw, role playing, komunikatif, koordinatif dan lain sebagainya dalam belajar mengajar.
Dalam pengajaran bahasa tentu harus mampu mengaplikasikan bahasa sebagai sarana penyampaian konten, melakukan proses sosial dan berinteraksi dalam pembelajaran. Maka rumusan Fishman tersebut dirasa penting sebagai pedoman dalam berinteraksi, yakni mengetahui siapa yang sedang berbicara, siswa, atau sesama guru atau kepala sekolah, bahasa apa yang harus digunakan, untuk siapa bahasa tersebut digunakan karena bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi dengan siswa tentu akan berbeda ketika berkomunikasi dengan kepala sekolah atau sesama guru. Ada pula pertimbangan lalu kapankah komunikasi berlangsung dalam situasi formal atau nonformal, sepeti ketika guru melaksanakan diskusi di dalam kelas, tentu akan berbeda ketika sedangan bercengkrama di ruang guru yang dilakukannya oleh sesama guru, dan tujuan dari interaksi yang dilakukan tersebut apa? misalnya tujuan untk memotivasi siswa tentu akan berbeda dengan bahasa yang digunakan ketika menegur siswa yang melakukan kesalahan, maka disitulah aplikasi sosiolinguistik dalam interaksi pengajaran bahasa sangat penting untuk diterapkan.

Aplikasi berikutnya penggunaan pronomina persona kaitannya dengan variasi bahasa yang digunakan dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2003: 249) yang menjelaskan pronomina persona sebagai berikut.

Persona
Makna
Tunggal
Jamak
Netral
Eksklusif
Inklusif
Pertama
Saya, aku, aku, ku-,-ku

Kami
Kita
Kedua
Engkau, kamu, anda, dikau, kau, -mu
Kalian, kamu, sekalian, anda, sekalian


Ketiga
Ia, dia, beliau, -nya
Mereka









Sosiolinguistik menjelaskan penggunaan pronomina tersebut dengan mengklasifikasikan variasi bahasa berdasarkan umur, pendidikan, tingkat keformalan, topik dan jalur pembicaraan dengan klasifikasi tersebut pengguna bahasa akan dengan mudah menggunakan masing-masing pronomina persona.
Kontribusi sosiolinguistik dalam pembelajaran bahasa dapat dilihat melalui aplikasi linguistik, yakni bagaimana sumbangan sosiolinguistik dalam menentukan bahan pembelajaran, silabus dan pelaksanaan pengajaran bahasa.
Masalah kebahasaan di Indonesia merupakan masalah yang rumit banyak faktor dan kondisi yang melilit persoalan linguistik. Faktor pertama adalah kemajemukan bangsa yang berarti juga kemajemukan budaya dan bahasa. Ada tiga masalah yang dihadapi dan masing-masing memerlukan kebijakan. Ketiga masalah itu ialah masalah bahasa Indonesia, masalah bahasa daerah , dan masalah bahasa asing. Faktor kedua ialah keberagaman bahasa daerah dalam jumlah yang sangat besar. Indonesia merupakan negara yang dihuni oleh ribuan suku dan budaya, diperkirakan 500 bahasa daerah terdapat di negara kita ini. Oleh karena itu, masalah yang timbul ialah mengenai pembakuan bahasa. Faktor ketiga ialah faktor kontak bahasa. Masalah yang timbul akibat kontak bahasa tersebut yakni masalah timbulnya campur kode dan interferensi. Tampubolon mengemukakan perlu adanya adopsi dan importasi. Adopsi adalah proses pengambilan dan penggunaan kosakata bahasa daerah secara tidak atau kurang beraturan dan tidak sesuai dengan kebutuhan yang wajar sehingga sering membingungkan. Alasan utama mengadakan adopsi dan importasi ialah tidak adanya kosakata yang tepat dalam bahasa bersangkutan untuk menyatakan suatu ide. Sedangkan alasan lain ialah (1) untuk membentuk suatu ragam khusus, (2) untuk tujuan eufimismistis atau gaya topeng. Sedangkan gejala importasi berlebihan ialah proses pemasukan dan penggunaan kosa kata bahasa asing secara tidak atau kurang berlebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan yang wajar, terutama melalui hubungan perdagangan luar negeri, sehingga sering membingungkan. Alasan lain adanya importasi ialah (1) pengaruh hubungan bisnis luar negeri sebagai alasan yang paling kuat dan (2) gengsi sebagai alasan yang kurang kuat. Dampak dari importasi berlebihan ialah alienasi bahasa, kerancuan struktural, dan kerancuan kognitif. Faktor keempat adalah sikap mental anggota masyarakat Indonesia yang negatif. Sikap negatif yang menonjol ialah (1) penggunaan unsur asing yang tidak perlu (2) penggunaan bahasa Indonesia yang menyimpang dari kaidah : kaidah ucapan, kaidah bentukan kata, kaidah bentukan kaliat, kaidah ejaan dan tanda baca.masalah terakhir ialah penggunaan bahasa asing yang terkesan fanatisme berlebihan. Kebijakan bahasa dapat dikatakan sebagai garis haluan yang menjadi dasar dalam perencanaan dan pelaksanaan dalam kegiatan kebahasaan. Kebijakan menganai bahasa nasional dimulai pada sumpah pemuda. Alasan dari kebijakan ini (1) embrio bangsa Indonesia sudah mampu menentukan sikap politik yang penting dalam memikirkan negara (2) penentuan bahasa Indonesia itu menunjukkan wawasan yang luas dan jauh ke depan masyarakat Indonesia, khususnya pemuda dalam memikirkan masa depan bangsa. Fungsi bahasa nasional (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakanh sosial budaya dan bahasa daerah yang berbeda-beda, ddan (4) alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Kebijakan tentang bahasa negara terjadi pada tahun 1945. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, (3) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah, dan (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Kebijakan tentang bahasa daerah dapat dilihat pada penjelasan UUD 1945 pasal 36. Bahasa daerah berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah. Kebijakan mengenai bahasa asing berfungsi (1) alat perhubungan antarbangsa, (2) alat pembantu pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, dan (3) alat pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk pembangunan nasional. Kebijakan tentang kelembagaan dengan terbentuknya Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa yang bertugas melaksanakan penelitian, pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri pendidikan dan kebudayaan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dibantu oleh UPT yang disebut Balai Bahasa. Kebijakan tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat dideskripsikan, bahasa yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai kaidah kebahasaan :ucapan, kosakata, gramatika dan ejaan. Sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan konteks penggunaan : partisipan, situasi, media, topik, waktu dan tempat.
Perencanaan bahasa adalah kegiatan politis dan administratif untuk menyelesaikan persoalan bahasa dalam masyarakat. Target terpenting dalam perencanaan bahasa Indonesia ialah pembakuan. Pembakuan adalah Proses pengangkatan satu ragam bahasa menjadi ragam yang diterima secara meluas di kalangan masyarakat bahasa sebagai ragam supradialektal sebagai bentuk “terbaik” di atas dialek-dialek local dan sosial. Bahasa baku perlu memiliki sifat kemantapan dinamis. Fungsi dari bahasa baku yakni fungsi pemersatu, fungsi penanda kepribadian, fungsi penanda tempat tertinggi atau gengsi tertinggi, dan fungsi kerangka acuan atau ukuran untuk menentukan ketepatan penggunaan bahasa. Pengembangan kosakata dapat berupa hilangnya kata dari penggunaan, munculnya kata lama dalam penggunaan baru, munculnya kata dengan makna yang baru, munculnya kata baru, dan munculnya kata dengan bentukan baru. Terdapat empat stategi dalam pemekaran sumber bahasa sendiri yakni pemerian makna baru, terhadap kata yg sudah ada, pengaktifan kembali unsur lama yang sudah mati, penciptaan bentukan baru, dan penciptaan akronim. Pemekaran bahasa yang serumpun memiliki kemudahan karena kesamaan atau kemiripan sistem fonologis, morfologis dan sintaksis. Sedangakan untuk bahasa asing syarat-syarat yang perlu diperhatikan sebagai dasar pemekaran adalah istilah asing lebih cocok karena konotasinya, karena cocok konotasinya, istilah asing memudahkan pengalihan antarbahasa mengingat keperluan masa depan serta memudahkan tercapainya kesepakatan jika istilah Indonesia terlalu banyak sinonimnya. Dari cara membentuk istilah dari bahasa asing, langkah-langkah berikut merupakan urutan, penerjemahan, adaptasi lalu adopsi.

BILINGUALISME DAN DIGLOSIA



A.    Hakikat Bilingualisme
Masyarakat bahasa adalah masyarakat yang menggunakan satu bahasa yang disepakati sebagai alat komunikasinya. Dilihat dari bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat bahasa, masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa da nada masyarakat yang menggunakan dua bahasa atau lebih. Masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa disebut masyarakat monolingual. Sedangkan masyarakat bahasa yang menggunakan dua bahasa atau lebih disebut masyarakat bilingual.
Diera maju dan modern ini barangkali jarang ditemukan masyarakat bahaasa monolingual. Akan tetapi, mungkin masih ada ditemukan misalnya, daerah-daerah terpencil. Ada juga kemungkinan masyarakat generasi lama yang karena satu dan lain hal tidak memiliki kesempatan belajar bahasa lain selain bahasa daerahnya. Setelah menjadi generasi tua, mereka menjadi masyarakat monolingual. Namun dalam kehidupan sehari-hari, ada pula masyarakat bilingual. Setidaknya masyarakat yang menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Misalnya, masyarakat yang menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, bahasa Banjar dengan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.
Istilah bilingualisme (Inggris:bilingualism) dalam bahasa indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilah secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara secara sosiolinguitik secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa atau lebih seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai dua bahasa itu. Pertama, bahasa itu sendiri atau bahasa pertamanya (B1) dan bahasa yang kedua (B2). Orang yang menggunakan bahasa kedua tersebut disebut orang yang bilingual (kedwibahasaan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas. Selain istilah bilingualisme juga digunakan istilah multibilingualisme yakni keadaan yang digunakan lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. (Chaer 2010:84)
Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian akan menimbulkan sejumlah masalah, masalah tersebut yang biasa dibahasa kalau yang membicarakan bilingualism. Masalah-masalah tersebut ialah sebagai berikut (lihat Dittmar 1976:170):
1.      Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasi dengan baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
2.      Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme? Apakah bahasa dalam pengertian langue, atau sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek.
3.      Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian? Kapan dia bisa harus menggunakan B1-nya, dan kapan pula harus menggunakan B2-nya? Kapan pula dia dapat menggunakannya B1-nya atau B2-nya?
4.      Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhinya B2-nya, atau sebaliknya B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya
5.      Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan atau juga berlaku pada suatu kelompok masyarakat tutur?
Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, “Sejauh mana penguasaan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik karena merupakan bahasa ibu) sehingga ia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?”
Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language (1933:56) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Jadi, seseorang dapat disebut bilingual apabila dapat menggunakan B1 dan b2 dengan derajat yang sama baiknya. Robert Lado (1964:214) mengatakan, bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang deng sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknik mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimanapun tingkatnya. Jadi, penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya, kurang pun boleh. Menurut Haugen (1961) tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual. Menurut Haugen selanjutnya, seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja. Haugen juga mengatakan, mempelajari bahasa kedua, apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya. Lagi pula seseorang yang mempelajari bahasa asing, maka kemampuan bahasa asingnya atau B2-nya akan selalu berada pada posisi di bawah penutur asli bahasa itu.
Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa pengertian bilingualisme akhirnya merupakan satu rentengan berjanjang mulai menguasai B1 (tentunya dengan baik karena bahasi ibu sendiri) ditambah tahu sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingual sudah sampai tahap ini, maka berarti seorang yang bilingual itu akan dapat menggunakan B1 dan B2 sama baiknya, untuk fungsi dan situasi apa saja dan di mana saja.
Pertanyaan kedua, “Apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah bahasa itu sama dengan langue, atau bagaimana?” Bloomfield (1933) mengatakan, bahwa menguasai dua buah bahasa, berarti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, malainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Menurut Mackey (1962:12), bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Untuk pengguanan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Jadi, jelas yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Tetapi pakar lain, Weinrich (1968:12) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakaan tingkatan-tingkatan yang ada di dalamnya. Bagi Weinrich menguasai dua bahasa berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Haugen (1968:10) yang memasukan penguasaan dua dialek dari satu bahasa yang sama ke dalam bilingualisme. Demikian juga pendapat Rene Appel (1976:176) yang mengatakan bahwa apa yang dimaksud dua bahasa dalam bilingualisme adalah termasuk juga dua variasi bahasa.
Dari pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasadalam pengertian langue sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa. Kalau yang dimaksud dengan bahasa adalah dialek juga, maka hampir semua anggota nasyarakat Indonesia adalah bilingual, kecuali anggota masyarakat tutur yang jumlah anggotanya sedikit, letaknya terpencil, dan di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari bahasa itu.
Pertanyaan ketiga, “Kapan seorang bilingual mengguankan kedua bahasa yang dikuasai secara bergantian? Kapan harus menggunakan B1-nya, kapan pula harus menggunakan B2-nya dan kapan pula dia dapat secara bebas dapat memilih untuk menggunakan B1-nya atau B2-nya?”
Mengenai pertanyaan ketiga, kapan B1 harus digunakan dan kapan B2 harus dipakai. Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa”. B1 pertama-tama dan terutama dapat digunakaan dengan para anggota masyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Penggunaan B1 dan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan seituasi sosial pembicaraan. Jadi, penggunaan B1 dan B2 tidaklah bebas. Masalah ketiga, kapan seorang penutur bilingual dapat secara bebas menggunakan B1 atau B2 adalah agak sukar dijawab. Dalam catatan sosiolinguistik hanya didapati adanya satu masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu, yaitu di Monteral, Kanada.
Pertanyaan keempat, “sejauhmana B1 seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya.”
Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan kesempatan untuk menggunakannya. Penguasaan B1 oleh seorang bilingual adalah lebih baik daripada penguasaannya terhadap B2, sebab B1 adalah bahasa ibu, yang dipelajari dan digunakan sejak kecil dalam keluarga, sedangkan B2 adalah bahasa yang baru kemudian dipelajari, yakni setelah menguasai B1. Dalam keadaan penguasaan terhadap B1 lebih baik  dari pada B2, dan juga kesempatan untuk mengguankannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si penutur akan mempengaruhi B2-nya. Seberapah jauh pengaruh B1 terhadap B2 adalah tergantung pada tingkat penguasaannya terhadap B2. Kekurang fasihan seorang penutur bilingual terhadap B2, sehingga B2-nya sering dipengaruhi oleh B1-nya lazim terjadi pada para penutur yang sedang dipelajari B2 itu (Nababan, 1984:32).
Mungkinkah B2 seorang penutur bilingula akan mempengaruhi B1-nya? kemungkinan itu akan ada kalau si penutur biligual itu dalam jangka watu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus menerus mengguanakn B2-nya.
Pertanyaan kelima, “apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan atau pada sekelompok penutur atau yang lazim disebut satu masyarakat tutur?”
Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitanya dengan menggunakannya dalam masyarakat tutur biligual. Mackey (1968:554-555) berpendapat bahwa bilingualisme bukan gajala bahasa, melainkan sifat pengguaan bahasa yang diguanakan penutur biligual secara berganti-ganti. Bilingualisme juga bukan ciri kode, melainkan ciri ekspresi atau pengungkapan seorang penutur. Begitupun bukan bagian dari langue, melainkan bagian dari parole. Mackey juga mengungkapkan kalau bahasa itu memiliki kelompok atau milik bersama suatu masyarakat tutur, maka bilingualisme adalah milik individu-individu para penutur, sebab pengguaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur yang berbeda. Menurut Oksaar (1972:478), bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok. Sebab bahasa itu pengguaannya tidak terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antar kelompok.
Chaer (1994) mengatakan, bahasa itu bukan sekedar alat komunikasi saja, melainkan sebagai alat untuk menunjukan identitas kelompok. Konsep bahwa bahasa merupakan identitas kelompok memeberi peluang untuk menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur yang bilingual, yang menggunakan dua buah bahasa sebagai alat komunikasinya. Masyarakat tutur yang demikian tidak hanya terbatas pada sekelompok orang, malah bisa juga meluas meliputi wilayah yang sangat luas, mungkin juga meliputi satu negara. Seperti dikatakan Wolf (1974:5) salah satu ciri bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa atau lebih oleh seorang atau sekelompok orang dengan tidak adanya peraan tertentu dari kedua bahas itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat diguanakan kapada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja. Pemilihan bahasa mana yang harus diguanakan tergantung pada kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya.
Keadan di dalam masyarakat di mana adanya pembedaan pengguaan bahasa berdasarkan fungsi atau peranaanya masing-masing menurut konteks sosialnya, didalam sosiolinguistik dikenal dengan sebutan diglosia.
1.      Masyarakat Bilingual
Masyarakat bilingual yaitu masyarakat yang menguasai dua bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai peranannya masing-masing. Contohnya masyarakat Indonesia dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa daerah sebagai bahasa intrakelompok.
2.      Masyarakat Monolingual
Monolingual adalah individu yang hanya mengusai satu bahasa saja, lebih – lebih bila konsep bahasa yang dimaksud sangat sempit yakni hanya sebatas pengertian ragam. (wijana dan rohmadi, 2010:55).
Faktor yang mempengaruhi monolingual, antara lain :
§  Didalam masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual, tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan, keadaan ini hanya mungkin ada dalam masyarakat primitive atau terpencil yang dewasa ini sukar ditemukan. (Fishman dalam Chaer dan Agustina, 2004: 118).
§  Dalam guyub diaglosa, anak-anak kecil mula-mula belajar bahasa L, akibatnya hamper semua anak-anak muda adalah ekabahasawan L. begitu menginjak dewasa kan memperoleh bahasa H, jadilah mereka dwibahasawan L dan H. (Sumarsono dan paina partana, 2002 : 233). (http://flafarichan.blogspot.com/2012/10/monolingual-bilingual-dan-multilingual.html)

B.      Hakikat Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie. Dalam pandangan Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranana tertentu. Jadi menurut Ferguson diglosia ialah suatu situasi kebahasaan relatif stabil, di mana selain terdapat jumlah dialek-dialek utama dari suatu bahasa terdapat juga ragam bahasa yang lain
Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Yang dimaksud ialah bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dan tidak resmi atau non-formal. Contohnya misalkan di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahasa lisan. Agak mirip dengan kedwibahasaan, diglosia adalah penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat, tetapi masing-masing bahasa mempunyai fungsi atau peranan yang berbeda dalam konteks sosial. Ada pembagian peranan bahasa dalam masyarakat dwibahasawan terlihat dengan adanya ragam tinggi dan rendah, digunakan dalam ragam sastra dan tidak, dan dipertahankan dengan tetap ada dua ragam dalam masyarakat dan dilestarikan lewat pemerolehan dan belajar bahasa.
Ada Sembilan topik yang dibicarakan Ferguson dalam diglosia yaitu:
1.      Fungsi
2.      Prestise
3.      Warisan sastra
4.      Pemerolehan
5.      Standarisasi
6.      Stabilitas
7.      Gramatika
8.      Leksikologi
9.      Fonologi
Fenomena diglosia dapat ditemukan pada masyarakat yang bilingual. Di negara lain, Ferguson menemukan koeksintesi antara varian bahasa tinggi dan varian bahasa rendah pada bahasa Arab. Varian bahasa Arab tinggi adalah bahasa Arab klasik dan varian bahasa rendah adalah varian dialekta. Menurut Ferguson varian bahasa tinggi antara lain digunakan dalam khotbah di masjid dan gereja, pidato di parlemen, pidato politik, kuliah di universitas, siaran berita, editorial surat kabar dan puisi. Varian bahasa rendah digunakan dalam sastra rakyat, sandiwara radio, suarat pribadi, pembicara antara teman ataupun keluarga.


v  MULTILINGUAL
Multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat yang demikian terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyrakat sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society). (Sumarsono dan Paina Partana, 2002: 76).
Adanya perkembangan bahasa dari monolingual kemudian menjadi bilingual dan pada akhirnya menjadi multilingual disebabkan banyak factor. Perkembangan teknologi komunikasi, adanya globalisasi, pesatnya dunia pendidikan menyebabkan kebutuhan masyarakat mengenai bahasa mengalami pergeseran serta kemajuan jaman secara tidak langsung membaurkan antar bahasa. (http://yosiabdiantindaon.blogspot.com/2012/04/pengertian-diglosia.html).
Dalam sejarah terbentuknya bahasa yang aneka bahasa kita melihat setidak – tidaknya ada 4 pola yaitu melalui migrasi, penjajahan, federasi dan keanekabahasaan diwilayah perbatasan.
ü  Migrasi
Migrasi atau perpindahan pendudukyang menimbulkan masalah kebahasaan hakikatnya dapat dibagi menjadi 2 jenis. Jenis pertama adalah sekelompok besar penduduk yang melebarkan sayap ke wilayah lain yang sudah dihuni oleh kelompok-kelompok lain. Jenis kedua terjadi jika sejumlah kecil anggota etnik memasuki wilayah yang sudah dibawah control nasional lainnya.
ü  Penjajahan
Dalam proses penjajahan control itu dipegang oleh sejumlah orang yang relative sedikit dari nasionalitas pengontrol diwilayah baru itu. 
ü  Federasi
Federasi adalah penyatuan berbagai etnik atau nasionalitas dibawah control politik satu Negara.
ü  Keanekabahasaan diwilayah perbatasan
Asal mula keanekabahasaan bias terjadi diwilayah perbatasan akibatnya diperbatasan bisa jadi ada penduduk yang jadi warganegara A tapi secara sosiokultural menjadi warganegara B. Komplikasi wilayah perbatasan biasanya dihubungkan dengan perang. Bangsa  yang kalah dipaksa untuk menyerahkan sebagian wilayahnya kepada yang menang. 




C.      Diglosia Indonesia
Di Indonesia situasi diglosia dapat dilihat dari dua situasi yaitu (1) situasi pilihan bahasa yaitu antara pilihan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. (2) situasi penggunaan varian bahasa yaitu situasi yang dikenakan pada pilihan ragam dalam bahasa Indonesia yakni ragam baku dan tidak baku. Tampanya di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari anatara bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing memiliki kedudukan tinggi dan rendahnya sesuai dengan situasinya. Dalam situasi resmi personal bahasa tinggi jatuh kepada bahasa Indonesia,. Kemudian dalam penggunaan ragam baku dan tidak baku tampak ragam baku merupakan ragam tinggi dan ragam tidak baku merupakan ragam rendah. (http://desmawti044.blogspot.com/2014/02/makalah-bilingualisme-dan-diglosia.html)