Senin, 08 Juni 2015

PENERAPAN SOSIOLINGUISTIK DALAM PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA



A.    Sekilas Mengenai Sosiolinguistik
Istilah sosiolinguistik sebagai istilah yang dipergunakan oleh H. Curee dalam sebuah karangan yang dimuat dalam A. Various Language. J.A.Fishman sendiri membedakan istilah sosiolnguistik dan sosiologi bahasa. Sosiolinguistik menurut fishman lebih bersifat kualitatif, sedangkan sosiologi bahasa bersifat kuantitatif. Artinya kalau sosiolinguistik mementingkn pemakaian bahasa oleh individu-individu dalam konteks sosialnya, maka sosiologi bahsa mementingkan keragaman bahasa sebagai akibat pelapisan social yang terdapat dalam masyarakat.(Dr.Mansoer Pateda, 1987:2)
Sosiolinguistik merupakan pondasi linguistik pendidikan yang terdiri atas variasi bahasa, interaksi dengan menggunakan berbagai bahasa, adanya gender, etnisitas, dan jaringan sosial sebagai dasar penggunaan bahasa yang beragam, masyarakat multilingual dan munculnya kontak bahasa (Spolsky, 2008:66-76). Selain itu sosiolinguistik menelaah bahasa yang dipengaruhi oleh masyarakat. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Spolsky (1998: 1) yang menyebutkan bahwa sosiolinguistik adalah bidang yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat sosial, antara penggunaan bahasa dan struktur sosial di mana pengguna bahasa hidup. Dittmar (1976: 128; Chaer dan Agustina, 2010: 5) mengemukakan  tujuh dimensi sosiolinguistik yang telah dirumuskan pada tahun 1964, di University of California, Los Angeles sebagai masalah yang dibicarakan dalam sosiolinguistik.

B.     Variasi bahasa, interferensi dan etnografi komunikasi
Chaer (2003: 53) mengemukakan bahwa bahasa merupakan satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Manusia sebagai pengguna bahasa tersebut bukanlah manusia yang homogen melainkan sekolompok individu yang heterogen. Berdasarkan alasan tersebut bahasa muncul dengan berbagai variasi seperti variasi bahasa berdasarkan pengguna dan penggunaanya. Pada pembahasan ini akan diulas mengenai variasi bahasa. Chaer dan agustina (2010: 66) mengemukakan sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas para penuturnya, muncullah bahasa yang disebut akrolek, basilek, mesolek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, ken dan prokem.
Interferensi adalah penyimpangan norma bahasa masing-masing yang terjadi di dalam tuturan dwibahasawan (bilingualisme) sebagai akibat dari pengenalan lebih dari satu bahasa dan kontak bahasa itu sendiri. Interferensi meliputi interferensi fonologi, morfologi, leksikal, dan sintaksis. Contoh interferensi fonologi pada kata Bantul èmBantul. Interferensi morfologi pada kata terpukulèkepukul. Hal ini terinterferensi bahasa Indonesia oleh bahasa Jawa. Interferensi sintaksis pada kalimat di sini toko laris yang mahal sendirtoko laris adalah toko yang paling mahal di sini. Interferensi leksikon pada kata kamanahèkemana (bahasa Indonesia terinterferensi bahasa Sunda). Di samping itu, Alwasilah(1985 :132) mengatakan interferensi berarti adanya saling pengaruh bahasa. Pengaruh itu dalam bentuk yang paling sederhana berupa pengambilan satu unsur dari satu bahasa dan digunakan dalam hubungannya dengan bahasa lain.
 Etnografi komunikasi merupakan kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik ,misalnya tentang adat istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian yang sangat dekat dengan etnografi adalah etnologi, kajian bandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok.(sumarsono, 2011: 309)
Menurut Hymes (1974), istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajiannya, yaitu etnografis landasannya, dan komunikatif rentangannya dan jenis kerumitannya yang terkait.
Etnografi komunikasi pertama kali dikemukakan oleh Dell Hymes (Murrel, 2003: 3) bahwa studi bahasa harus memperhatikan aturan sosial, budaya, norma dan nilai-nilai yang mengatur perilaku dan interpretasi proses ujaran dan sarana komunikasi lainnya dalam teorinya selama ini ini ahli bahasa bahasa hanya mengkaji struktur saja sedangkan antropolgi hanya melihat bahasa untuk melihat aspek budaya lainnya. Hymes mengemukkan komponen yang menjembatani keduanya melalui teorinya yang dikenal dengan SPEAKING.
1.      S: (situation), terdiri atas setting dan scene. setting menunjuk pada waktu, tempat dan keadaan fisik tuturan secara keseluruan,  Scene mengacu pada keadaan psikologis pembicaraan. Misalnya dari situasi formal berubah menjadi informal.
2.      P: (partisipants), mencakup penutur, petutur, pengirim dan penerima.
3.      E: (ends), meliputi maksud atau tujuan dan hasil.
4.      A: (act sequence), terdiri atas bentuk pesan dan isi pesan
5.      K: (key), mengacu pada nada, cara, atau semangat penyampaian pesan
6.      I: (instrumentalities), menunjuk pada jalur bahasa yang digunakan dalam pembicaraan seperti lisan, tulisan, melalui telegraf atau telepon dan bentuk tuturan seperti bahasa dan dialek, kode, fragam atau register seperti di Amerika dengan menggunakan dialek bahasa Inggris untuk mengarah pada situasi atau fungsi tertentu (seperti bahasa standar vs vernakular).
7.      N: (norms), mengacu pada aturan-aturan atau norma interaksi dan interpretasi. Norma interaksi merupakan norma yang terjadi dalam cara menyampaikan pertanyaan, interupsi, pernyatan, perintah dalam percakapan. Norma interpretasi, yakni penafsiran norma oleh partisipan dalam tuturan.
8.      G: (genres), mencakup jenis bentuk penyampaian, seperti syair, sajak, mite, hikayat, doa, bahasa perkuliahan, perdagangan, ceramah, surat edaran, tajuk rencana.

C.    Pengajaran bahasa dan sastra
Pengajaran merupakan interaksi belajar dan mengajar. Pengajaran berlangsung sebagai suatu proses saling mempengaruhi antara pengajar dan siswa. Diantara keduanya terdapat hubungan atau komunikasi interaksi. Pengajaran merupakan suatu pola yang di dalamnya tersusun suatu prosedur yang direncanakan (Ampera, 2010:6).
Brown (2007:8-9)  menyatakan bahwa pengajaran adalah memandu dan memfasilitasi pembelajaran, memungkinkan pembelajar untuk belajar, menetapkan kondisi-kondisi pembelajaran yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip, pemilihan metode dan teknik yang sesuai dengan kegiatan yang akan dilaksanakan.
1.         Pengajaran bahasa
Pengajaran bahasa pada suatu negara atau suatu daerah merupakan suatu keputusan politik, ekonomi dan sosial yang disebut kebijakan pengajaran bahasa. Apabila secara politis telah ditentukan, bahasa apa yang harus diajarkan, dan kepada siapa bahasa itu harus diajarkan, maka langkah selanjutnya adalah bahan apa yang harus diajarkan dan bagaimana cara mengajarkannya.

2.         Pengajaran sastra
Pengajaran sastra pada dasarnya memiliki peranan dalam peningkatan pemahaman siswa. Apabila karya-karya sastra tidak memiliki manfaat, dalam menafsirkan masalah-masalah dalam dunia nyata, maka karya sastra tidak akan bernilai bagi pembacanya. Pada dasarnya pengajaran sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka dapat dipandang pengajaran sastra menduduki tempat yang yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan secara tepat maka pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang  besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam  masyarakat (Rahmanto, 1996:15). Melalui hal tersebut, sastra memberikan pengaruh terhadap pembacanya. Sastra membentuk pola pikiran dan respon pembaca terhadap apa yang dibacanya dengaan aktivitas kesehariaanya yang saling berkaitan.
Pengajaran bahasa dan sastra pada umumnya mengalami kendala dan hambatan. Khususnya pada pengajaran sastra yang terkadang dianggap kurang bermanfaat. Sikap yang kurang apresiatif muncul dari siswa dan guru, sehingga pengajaran sastra terabaikan. Kemendiknas (2011:59) menyatakan penyajian pengajaran sastra hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulm, kering, kurang hidup, dan cenderung kurang mendapat tempat dihati siswa. Pengajaran sastra diberbagai jenjang pendidikan selama ini dianggap kurang penting dan dianaktirikan oleh para guru, apalagi para guru yang pengetahuan dan apresiasi (dan budayanya) rendah. Hakikat dari tujuan pengajaran sastra yaitu untuk menumbuhkan keterampilan, rasa cinta dan penghargaan para siswa terhadap bahasa dan sastra Indonesia sebagai budaya warisan leluhur. Pada pengajarannya pula sastra memiliki problematika yang mempengaruhi minat dan keinginan siswa untuk mengikuti pengajaran dengan baik.


A.          PENERAPAN SOSIOLINGUISTIK DALAM PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Penerapan sosiolinguistik yang tak boleh diabaikan adalah aplikasinya dalam pendidikan. Bagaimana interaksi kebahasaan dalam proses belajar mengajar sangat penting diketahui. Persoalannya ialah apakah pengajaran bahsa dapat menyebabkan anak didik menggunakan suatu bahasa menurut kaidah-kaidah dan tidak mempersoalkan bagaimana penerapan kaidah dalam penggunaan bahasa sehari-hari.
Penerapan sosilinguistik dalam pengajaran bahasa bukan berarti kita mengajarkan sosiolinguistik kepada murid-murid, tetapi kita (guru bahasa) harus membentengi diri dengan pengetahuan sosiolinguistik. Pengetahuan sosiolinguistik diperlukan agar materi yang kita berikan kepada anak didik dapat mereka cerna dan dapat dipergunakannya dalam kehidupan sehari-hari.(mansoer pateda, 1987:98)
Dalam sosiolinguistik mengajarkan bagaimana penggunaan bahasa itu secara aktual dalam komunikasi khususnya dalam pengajaran bahasa. Seperti yang diungkapkan oleh Fishman (1967: 15; Chaer dan Agustina, 2010:48) bahwa sosiolinguistik menjelaskan bagaimana menggunakan bahasa dalam aspek atau segi sosial tertentu dengan memperhatikan, “ who speak, what language, to whom, when, and to what end”.
Parera (1989:11-13) menyatakan bahwa terdapat tiga tahap aplikasi linguistik berkaitan kontribusi linguistik dalam pengajaran bahasa sebagai berikut.
Tahap aplikasi pertama adalah tahap deskripsi linguistik. Tahapan ini memberi jawaban atas pertanyaan general tentang hakekat bahasa yang diajarkan. Secara tidak langsung bagan-bagan yang dijelaskan memberikan isyarat bahwa teori struktural dan sosiolinguisrik merupakan bagian dari lingusitik yang menyumbangakan teorinya dalam penyusunan bahan pengajaran bahasa.
Tahap aplikasi kedua berhubungan dengan isi silabus. Kita tidak akan mengajarkan keseluruhan bahasa dalam pembelajaran, namun mengajarkan bahasa yang dibutuhkan oleh peserta didik kita. Dalam tahapan ini kita akan melakukan desain hasil untuk itu akan dilakukan pemilihan bahan. Pemilihan bahan sangat erat sekali dengan aplikasi sosiolinguistik terutama jika bahan pembelajaran ingin menyiapkan bagi pembelajar bahasa Indonesia untuk pengguna bahasa asing, seluk-beluk variasi dialek, perbandingan interlingual dan perbandingan antara dua bahasa.
Tahap aplikasi ketiga merupakan tahap kegiatan pembelajaran bahasa karena pada tahap kedua belum bisa membuat silabus yang lengkap dan utuh tentang bahasa, maka kaidah-kaidah penyusunan silabus ini harus memperhatikan faktor linguistik, psikolinguistik maupun sosiolinguistik sebagai bahan pengajaran (materi yang dimasukkan silabus) yang nanti juga menentukan alat, bahan dan sumber pembelajaran dan pendekatan proses (teknik presentasi) seperti pendekatan kontekstual, metode jigsaw, role playing, komunikatif, koordinatif dan lain sebagainya dalam belajar mengajar.
Dalam pengajaran bahasa tentu harus mampu mengaplikasikan bahasa sebagai sarana penyampaian konten, melakukan proses sosial dan berinteraksi dalam pembelajaran. Maka rumusan Fishman tersebut dirasa penting sebagai pedoman dalam berinteraksi, yakni mengetahui siapa yang sedang berbicara, siswa, atau sesama guru atau kepala sekolah, bahasa apa yang harus digunakan, untuk siapa bahasa tersebut digunakan karena bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi dengan siswa tentu akan berbeda ketika berkomunikasi dengan kepala sekolah atau sesama guru. Ada pula pertimbangan lalu kapankah komunikasi berlangsung dalam situasi formal atau nonformal, sepeti ketika guru melaksanakan diskusi di dalam kelas, tentu akan berbeda ketika sedangan bercengkrama di ruang guru yang dilakukannya oleh sesama guru, dan tujuan dari interaksi yang dilakukan tersebut apa? misalnya tujuan untk memotivasi siswa tentu akan berbeda dengan bahasa yang digunakan ketika menegur siswa yang melakukan kesalahan, maka disitulah aplikasi sosiolinguistik dalam interaksi pengajaran bahasa sangat penting untuk diterapkan.

Aplikasi berikutnya penggunaan pronomina persona kaitannya dengan variasi bahasa yang digunakan dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2003: 249) yang menjelaskan pronomina persona sebagai berikut.

Persona
Makna
Tunggal
Jamak
Netral
Eksklusif
Inklusif
Pertama
Saya, aku, aku, ku-,-ku

Kami
Kita
Kedua
Engkau, kamu, anda, dikau, kau, -mu
Kalian, kamu, sekalian, anda, sekalian


Ketiga
Ia, dia, beliau, -nya
Mereka









Sosiolinguistik menjelaskan penggunaan pronomina tersebut dengan mengklasifikasikan variasi bahasa berdasarkan umur, pendidikan, tingkat keformalan, topik dan jalur pembicaraan dengan klasifikasi tersebut pengguna bahasa akan dengan mudah menggunakan masing-masing pronomina persona.
Kontribusi sosiolinguistik dalam pembelajaran bahasa dapat dilihat melalui aplikasi linguistik, yakni bagaimana sumbangan sosiolinguistik dalam menentukan bahan pembelajaran, silabus dan pelaksanaan pengajaran bahasa.
Masalah kebahasaan di Indonesia merupakan masalah yang rumit banyak faktor dan kondisi yang melilit persoalan linguistik. Faktor pertama adalah kemajemukan bangsa yang berarti juga kemajemukan budaya dan bahasa. Ada tiga masalah yang dihadapi dan masing-masing memerlukan kebijakan. Ketiga masalah itu ialah masalah bahasa Indonesia, masalah bahasa daerah , dan masalah bahasa asing. Faktor kedua ialah keberagaman bahasa daerah dalam jumlah yang sangat besar. Indonesia merupakan negara yang dihuni oleh ribuan suku dan budaya, diperkirakan 500 bahasa daerah terdapat di negara kita ini. Oleh karena itu, masalah yang timbul ialah mengenai pembakuan bahasa. Faktor ketiga ialah faktor kontak bahasa. Masalah yang timbul akibat kontak bahasa tersebut yakni masalah timbulnya campur kode dan interferensi. Tampubolon mengemukakan perlu adanya adopsi dan importasi. Adopsi adalah proses pengambilan dan penggunaan kosakata bahasa daerah secara tidak atau kurang beraturan dan tidak sesuai dengan kebutuhan yang wajar sehingga sering membingungkan. Alasan utama mengadakan adopsi dan importasi ialah tidak adanya kosakata yang tepat dalam bahasa bersangkutan untuk menyatakan suatu ide. Sedangkan alasan lain ialah (1) untuk membentuk suatu ragam khusus, (2) untuk tujuan eufimismistis atau gaya topeng. Sedangkan gejala importasi berlebihan ialah proses pemasukan dan penggunaan kosa kata bahasa asing secara tidak atau kurang berlebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan yang wajar, terutama melalui hubungan perdagangan luar negeri, sehingga sering membingungkan. Alasan lain adanya importasi ialah (1) pengaruh hubungan bisnis luar negeri sebagai alasan yang paling kuat dan (2) gengsi sebagai alasan yang kurang kuat. Dampak dari importasi berlebihan ialah alienasi bahasa, kerancuan struktural, dan kerancuan kognitif. Faktor keempat adalah sikap mental anggota masyarakat Indonesia yang negatif. Sikap negatif yang menonjol ialah (1) penggunaan unsur asing yang tidak perlu (2) penggunaan bahasa Indonesia yang menyimpang dari kaidah : kaidah ucapan, kaidah bentukan kata, kaidah bentukan kaliat, kaidah ejaan dan tanda baca.masalah terakhir ialah penggunaan bahasa asing yang terkesan fanatisme berlebihan. Kebijakan bahasa dapat dikatakan sebagai garis haluan yang menjadi dasar dalam perencanaan dan pelaksanaan dalam kegiatan kebahasaan. Kebijakan menganai bahasa nasional dimulai pada sumpah pemuda. Alasan dari kebijakan ini (1) embrio bangsa Indonesia sudah mampu menentukan sikap politik yang penting dalam memikirkan negara (2) penentuan bahasa Indonesia itu menunjukkan wawasan yang luas dan jauh ke depan masyarakat Indonesia, khususnya pemuda dalam memikirkan masa depan bangsa. Fungsi bahasa nasional (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakanh sosial budaya dan bahasa daerah yang berbeda-beda, ddan (4) alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Kebijakan tentang bahasa negara terjadi pada tahun 1945. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, (3) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah, dan (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Kebijakan tentang bahasa daerah dapat dilihat pada penjelasan UUD 1945 pasal 36. Bahasa daerah berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah. Kebijakan mengenai bahasa asing berfungsi (1) alat perhubungan antarbangsa, (2) alat pembantu pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, dan (3) alat pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk pembangunan nasional. Kebijakan tentang kelembagaan dengan terbentuknya Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa yang bertugas melaksanakan penelitian, pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri pendidikan dan kebudayaan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dibantu oleh UPT yang disebut Balai Bahasa. Kebijakan tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat dideskripsikan, bahasa yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai kaidah kebahasaan :ucapan, kosakata, gramatika dan ejaan. Sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan konteks penggunaan : partisipan, situasi, media, topik, waktu dan tempat.
Perencanaan bahasa adalah kegiatan politis dan administratif untuk menyelesaikan persoalan bahasa dalam masyarakat. Target terpenting dalam perencanaan bahasa Indonesia ialah pembakuan. Pembakuan adalah Proses pengangkatan satu ragam bahasa menjadi ragam yang diterima secara meluas di kalangan masyarakat bahasa sebagai ragam supradialektal sebagai bentuk “terbaik” di atas dialek-dialek local dan sosial. Bahasa baku perlu memiliki sifat kemantapan dinamis. Fungsi dari bahasa baku yakni fungsi pemersatu, fungsi penanda kepribadian, fungsi penanda tempat tertinggi atau gengsi tertinggi, dan fungsi kerangka acuan atau ukuran untuk menentukan ketepatan penggunaan bahasa. Pengembangan kosakata dapat berupa hilangnya kata dari penggunaan, munculnya kata lama dalam penggunaan baru, munculnya kata dengan makna yang baru, munculnya kata baru, dan munculnya kata dengan bentukan baru. Terdapat empat stategi dalam pemekaran sumber bahasa sendiri yakni pemerian makna baru, terhadap kata yg sudah ada, pengaktifan kembali unsur lama yang sudah mati, penciptaan bentukan baru, dan penciptaan akronim. Pemekaran bahasa yang serumpun memiliki kemudahan karena kesamaan atau kemiripan sistem fonologis, morfologis dan sintaksis. Sedangakan untuk bahasa asing syarat-syarat yang perlu diperhatikan sebagai dasar pemekaran adalah istilah asing lebih cocok karena konotasinya, karena cocok konotasinya, istilah asing memudahkan pengalihan antarbahasa mengingat keperluan masa depan serta memudahkan tercapainya kesepakatan jika istilah Indonesia terlalu banyak sinonimnya. Dari cara membentuk istilah dari bahasa asing, langkah-langkah berikut merupakan urutan, penerjemahan, adaptasi lalu adopsi.

1 komentar: