Senin, 08 Juni 2015

BILINGUALISME DAN DIGLOSIA



A.    Hakikat Bilingualisme
Masyarakat bahasa adalah masyarakat yang menggunakan satu bahasa yang disepakati sebagai alat komunikasinya. Dilihat dari bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat bahasa, masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa da nada masyarakat yang menggunakan dua bahasa atau lebih. Masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa disebut masyarakat monolingual. Sedangkan masyarakat bahasa yang menggunakan dua bahasa atau lebih disebut masyarakat bilingual.
Diera maju dan modern ini barangkali jarang ditemukan masyarakat bahaasa monolingual. Akan tetapi, mungkin masih ada ditemukan misalnya, daerah-daerah terpencil. Ada juga kemungkinan masyarakat generasi lama yang karena satu dan lain hal tidak memiliki kesempatan belajar bahasa lain selain bahasa daerahnya. Setelah menjadi generasi tua, mereka menjadi masyarakat monolingual. Namun dalam kehidupan sehari-hari, ada pula masyarakat bilingual. Setidaknya masyarakat yang menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Misalnya, masyarakat yang menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, bahasa Banjar dengan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.
Istilah bilingualisme (Inggris:bilingualism) dalam bahasa indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilah secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara secara sosiolinguitik secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa atau lebih seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai dua bahasa itu. Pertama, bahasa itu sendiri atau bahasa pertamanya (B1) dan bahasa yang kedua (B2). Orang yang menggunakan bahasa kedua tersebut disebut orang yang bilingual (kedwibahasaan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas. Selain istilah bilingualisme juga digunakan istilah multibilingualisme yakni keadaan yang digunakan lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. (Chaer 2010:84)
Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian akan menimbulkan sejumlah masalah, masalah tersebut yang biasa dibahasa kalau yang membicarakan bilingualism. Masalah-masalah tersebut ialah sebagai berikut (lihat Dittmar 1976:170):
1.      Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasi dengan baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
2.      Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme? Apakah bahasa dalam pengertian langue, atau sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek.
3.      Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian? Kapan dia bisa harus menggunakan B1-nya, dan kapan pula harus menggunakan B2-nya? Kapan pula dia dapat menggunakannya B1-nya atau B2-nya?
4.      Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhinya B2-nya, atau sebaliknya B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya
5.      Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan atau juga berlaku pada suatu kelompok masyarakat tutur?
Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, “Sejauh mana penguasaan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik karena merupakan bahasa ibu) sehingga ia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?”
Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language (1933:56) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Jadi, seseorang dapat disebut bilingual apabila dapat menggunakan B1 dan b2 dengan derajat yang sama baiknya. Robert Lado (1964:214) mengatakan, bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang deng sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknik mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimanapun tingkatnya. Jadi, penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya, kurang pun boleh. Menurut Haugen (1961) tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual. Menurut Haugen selanjutnya, seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja. Haugen juga mengatakan, mempelajari bahasa kedua, apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya. Lagi pula seseorang yang mempelajari bahasa asing, maka kemampuan bahasa asingnya atau B2-nya akan selalu berada pada posisi di bawah penutur asli bahasa itu.
Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa pengertian bilingualisme akhirnya merupakan satu rentengan berjanjang mulai menguasai B1 (tentunya dengan baik karena bahasi ibu sendiri) ditambah tahu sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingual sudah sampai tahap ini, maka berarti seorang yang bilingual itu akan dapat menggunakan B1 dan B2 sama baiknya, untuk fungsi dan situasi apa saja dan di mana saja.
Pertanyaan kedua, “Apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah bahasa itu sama dengan langue, atau bagaimana?” Bloomfield (1933) mengatakan, bahwa menguasai dua buah bahasa, berarti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, malainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Menurut Mackey (1962:12), bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Untuk pengguanan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Jadi, jelas yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Tetapi pakar lain, Weinrich (1968:12) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakaan tingkatan-tingkatan yang ada di dalamnya. Bagi Weinrich menguasai dua bahasa berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Haugen (1968:10) yang memasukan penguasaan dua dialek dari satu bahasa yang sama ke dalam bilingualisme. Demikian juga pendapat Rene Appel (1976:176) yang mengatakan bahwa apa yang dimaksud dua bahasa dalam bilingualisme adalah termasuk juga dua variasi bahasa.
Dari pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasadalam pengertian langue sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa. Kalau yang dimaksud dengan bahasa adalah dialek juga, maka hampir semua anggota nasyarakat Indonesia adalah bilingual, kecuali anggota masyarakat tutur yang jumlah anggotanya sedikit, letaknya terpencil, dan di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari bahasa itu.
Pertanyaan ketiga, “Kapan seorang bilingual mengguankan kedua bahasa yang dikuasai secara bergantian? Kapan harus menggunakan B1-nya, kapan pula harus menggunakan B2-nya dan kapan pula dia dapat secara bebas dapat memilih untuk menggunakan B1-nya atau B2-nya?”
Mengenai pertanyaan ketiga, kapan B1 harus digunakan dan kapan B2 harus dipakai. Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa”. B1 pertama-tama dan terutama dapat digunakaan dengan para anggota masyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Penggunaan B1 dan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan seituasi sosial pembicaraan. Jadi, penggunaan B1 dan B2 tidaklah bebas. Masalah ketiga, kapan seorang penutur bilingual dapat secara bebas menggunakan B1 atau B2 adalah agak sukar dijawab. Dalam catatan sosiolinguistik hanya didapati adanya satu masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu, yaitu di Monteral, Kanada.
Pertanyaan keempat, “sejauhmana B1 seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya.”
Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan kesempatan untuk menggunakannya. Penguasaan B1 oleh seorang bilingual adalah lebih baik daripada penguasaannya terhadap B2, sebab B1 adalah bahasa ibu, yang dipelajari dan digunakan sejak kecil dalam keluarga, sedangkan B2 adalah bahasa yang baru kemudian dipelajari, yakni setelah menguasai B1. Dalam keadaan penguasaan terhadap B1 lebih baik  dari pada B2, dan juga kesempatan untuk mengguankannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si penutur akan mempengaruhi B2-nya. Seberapah jauh pengaruh B1 terhadap B2 adalah tergantung pada tingkat penguasaannya terhadap B2. Kekurang fasihan seorang penutur bilingual terhadap B2, sehingga B2-nya sering dipengaruhi oleh B1-nya lazim terjadi pada para penutur yang sedang dipelajari B2 itu (Nababan, 1984:32).
Mungkinkah B2 seorang penutur bilingula akan mempengaruhi B1-nya? kemungkinan itu akan ada kalau si penutur biligual itu dalam jangka watu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus menerus mengguanakn B2-nya.
Pertanyaan kelima, “apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan atau pada sekelompok penutur atau yang lazim disebut satu masyarakat tutur?”
Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitanya dengan menggunakannya dalam masyarakat tutur biligual. Mackey (1968:554-555) berpendapat bahwa bilingualisme bukan gajala bahasa, melainkan sifat pengguaan bahasa yang diguanakan penutur biligual secara berganti-ganti. Bilingualisme juga bukan ciri kode, melainkan ciri ekspresi atau pengungkapan seorang penutur. Begitupun bukan bagian dari langue, melainkan bagian dari parole. Mackey juga mengungkapkan kalau bahasa itu memiliki kelompok atau milik bersama suatu masyarakat tutur, maka bilingualisme adalah milik individu-individu para penutur, sebab pengguaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur yang berbeda. Menurut Oksaar (1972:478), bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok. Sebab bahasa itu pengguaannya tidak terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antar kelompok.
Chaer (1994) mengatakan, bahasa itu bukan sekedar alat komunikasi saja, melainkan sebagai alat untuk menunjukan identitas kelompok. Konsep bahwa bahasa merupakan identitas kelompok memeberi peluang untuk menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur yang bilingual, yang menggunakan dua buah bahasa sebagai alat komunikasinya. Masyarakat tutur yang demikian tidak hanya terbatas pada sekelompok orang, malah bisa juga meluas meliputi wilayah yang sangat luas, mungkin juga meliputi satu negara. Seperti dikatakan Wolf (1974:5) salah satu ciri bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa atau lebih oleh seorang atau sekelompok orang dengan tidak adanya peraan tertentu dari kedua bahas itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat diguanakan kapada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja. Pemilihan bahasa mana yang harus diguanakan tergantung pada kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya.
Keadan di dalam masyarakat di mana adanya pembedaan pengguaan bahasa berdasarkan fungsi atau peranaanya masing-masing menurut konteks sosialnya, didalam sosiolinguistik dikenal dengan sebutan diglosia.
1.      Masyarakat Bilingual
Masyarakat bilingual yaitu masyarakat yang menguasai dua bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai peranannya masing-masing. Contohnya masyarakat Indonesia dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa daerah sebagai bahasa intrakelompok.
2.      Masyarakat Monolingual
Monolingual adalah individu yang hanya mengusai satu bahasa saja, lebih – lebih bila konsep bahasa yang dimaksud sangat sempit yakni hanya sebatas pengertian ragam. (wijana dan rohmadi, 2010:55).
Faktor yang mempengaruhi monolingual, antara lain :
§  Didalam masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual, tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan, keadaan ini hanya mungkin ada dalam masyarakat primitive atau terpencil yang dewasa ini sukar ditemukan. (Fishman dalam Chaer dan Agustina, 2004: 118).
§  Dalam guyub diaglosa, anak-anak kecil mula-mula belajar bahasa L, akibatnya hamper semua anak-anak muda adalah ekabahasawan L. begitu menginjak dewasa kan memperoleh bahasa H, jadilah mereka dwibahasawan L dan H. (Sumarsono dan paina partana, 2002 : 233). (http://flafarichan.blogspot.com/2012/10/monolingual-bilingual-dan-multilingual.html)

B.      Hakikat Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie. Dalam pandangan Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranana tertentu. Jadi menurut Ferguson diglosia ialah suatu situasi kebahasaan relatif stabil, di mana selain terdapat jumlah dialek-dialek utama dari suatu bahasa terdapat juga ragam bahasa yang lain
Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Yang dimaksud ialah bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dan tidak resmi atau non-formal. Contohnya misalkan di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahasa lisan. Agak mirip dengan kedwibahasaan, diglosia adalah penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat, tetapi masing-masing bahasa mempunyai fungsi atau peranan yang berbeda dalam konteks sosial. Ada pembagian peranan bahasa dalam masyarakat dwibahasawan terlihat dengan adanya ragam tinggi dan rendah, digunakan dalam ragam sastra dan tidak, dan dipertahankan dengan tetap ada dua ragam dalam masyarakat dan dilestarikan lewat pemerolehan dan belajar bahasa.
Ada Sembilan topik yang dibicarakan Ferguson dalam diglosia yaitu:
1.      Fungsi
2.      Prestise
3.      Warisan sastra
4.      Pemerolehan
5.      Standarisasi
6.      Stabilitas
7.      Gramatika
8.      Leksikologi
9.      Fonologi
Fenomena diglosia dapat ditemukan pada masyarakat yang bilingual. Di negara lain, Ferguson menemukan koeksintesi antara varian bahasa tinggi dan varian bahasa rendah pada bahasa Arab. Varian bahasa Arab tinggi adalah bahasa Arab klasik dan varian bahasa rendah adalah varian dialekta. Menurut Ferguson varian bahasa tinggi antara lain digunakan dalam khotbah di masjid dan gereja, pidato di parlemen, pidato politik, kuliah di universitas, siaran berita, editorial surat kabar dan puisi. Varian bahasa rendah digunakan dalam sastra rakyat, sandiwara radio, suarat pribadi, pembicara antara teman ataupun keluarga.


v  MULTILINGUAL
Multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat yang demikian terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyrakat sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society). (Sumarsono dan Paina Partana, 2002: 76).
Adanya perkembangan bahasa dari monolingual kemudian menjadi bilingual dan pada akhirnya menjadi multilingual disebabkan banyak factor. Perkembangan teknologi komunikasi, adanya globalisasi, pesatnya dunia pendidikan menyebabkan kebutuhan masyarakat mengenai bahasa mengalami pergeseran serta kemajuan jaman secara tidak langsung membaurkan antar bahasa. (http://yosiabdiantindaon.blogspot.com/2012/04/pengertian-diglosia.html).
Dalam sejarah terbentuknya bahasa yang aneka bahasa kita melihat setidak – tidaknya ada 4 pola yaitu melalui migrasi, penjajahan, federasi dan keanekabahasaan diwilayah perbatasan.
ü  Migrasi
Migrasi atau perpindahan pendudukyang menimbulkan masalah kebahasaan hakikatnya dapat dibagi menjadi 2 jenis. Jenis pertama adalah sekelompok besar penduduk yang melebarkan sayap ke wilayah lain yang sudah dihuni oleh kelompok-kelompok lain. Jenis kedua terjadi jika sejumlah kecil anggota etnik memasuki wilayah yang sudah dibawah control nasional lainnya.
ü  Penjajahan
Dalam proses penjajahan control itu dipegang oleh sejumlah orang yang relative sedikit dari nasionalitas pengontrol diwilayah baru itu. 
ü  Federasi
Federasi adalah penyatuan berbagai etnik atau nasionalitas dibawah control politik satu Negara.
ü  Keanekabahasaan diwilayah perbatasan
Asal mula keanekabahasaan bias terjadi diwilayah perbatasan akibatnya diperbatasan bisa jadi ada penduduk yang jadi warganegara A tapi secara sosiokultural menjadi warganegara B. Komplikasi wilayah perbatasan biasanya dihubungkan dengan perang. Bangsa  yang kalah dipaksa untuk menyerahkan sebagian wilayahnya kepada yang menang. 




C.      Diglosia Indonesia
Di Indonesia situasi diglosia dapat dilihat dari dua situasi yaitu (1) situasi pilihan bahasa yaitu antara pilihan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. (2) situasi penggunaan varian bahasa yaitu situasi yang dikenakan pada pilihan ragam dalam bahasa Indonesia yakni ragam baku dan tidak baku. Tampanya di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari anatara bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing memiliki kedudukan tinggi dan rendahnya sesuai dengan situasinya. Dalam situasi resmi personal bahasa tinggi jatuh kepada bahasa Indonesia,. Kemudian dalam penggunaan ragam baku dan tidak baku tampak ragam baku merupakan ragam tinggi dan ragam tidak baku merupakan ragam rendah. (http://desmawti044.blogspot.com/2014/02/makalah-bilingualisme-dan-diglosia.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar